Asas Legalitas, Kebebasan Hakim Menafsirkan Hukum, dan Kaidah
Yurisprudensi
Katanya
hukum tidak boleh berlaku surut, dan jika tidak ada UU maka Yurisprudensi bisa dilakukan.
Terus bagaimana dengan Asas Legalitas? Berarti orang bisa dong kena hukuman
walaupun tidak ada UU-nya, yaitu lewat Yurisprudensi?
Seseorang
dapat dihukum meskipun tidak ada peraturan yang mengatur larangan perbuatan
yang dilakukan orang tersebut. Namun, kemungkinan tersebut bukan karena
yurisprudensi. Untuk lebih jelasnya, simak penjelasan di bawah ini.
Asas
legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium
legendaris von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada
tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang
mendahuluinya”. Secara umum, von Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi
tiga bagian, yaitu:
1) tidak ada hukuman, kalau tak ada
Undang-undang,
2) Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan
3) Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada
hukuman, yang berdasarkan Undang-undang.
Adagium
tersebut merupakan dasar dari asas bahwa ketentuan pidana tidak dapat berlaku
surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya dapat dianggap sebagai
kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik untuk
dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan.
Sistem
hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti sistem hukum Anglo-Saxon
yang menganut aliran freie rechtslehre yang memperbolehkan hakim untuk
menciptakan hukum (judge made law). Sistem hukum di Indonesia menganut aliran
rechtsvinding yang menegaskan hakim harus mendasarkan putusannya kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini selaras dengan ketentuan
Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (“AB”) yang
menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang. Namun
demikian, hakim tetap memiliki kebebasan untuk menafsirkan dan berpendapat.
Hakim memiliki keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid) dalam melaksanakan
tugasnya mengadili suatu perkara.
Pada
beberapa kesempatan, hakim akan dihadapkan kepada keadaan harus mengadili suatu
perkara yang tidak memiliki dasar hukum atau pengaturan hukumnya tidak jelas.
Dalam keadaan ini, hakim tidak dapat menolak untuk mengadili perkara tersebut
dengan dalih tidak ada hukum yang mengatur.
Hal ini
sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi:
“Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Juga
dengan Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi:
“Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Selain
dua ketentuan tersebut, Pasal 22 AB juga menyatakan bahwa hakim yang menolak
untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak
lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili.
Dengan
demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa hakim harus mendasarkan putusannya
dalam mengadili kepada peraturan perundang-undangan dan bebas untuk menafsirkan
dan menginterpretasikan hukum tersebut. Meskipun demikian, dalam hal perkara
yang diadili tidak ada atau tidak jelas dasar hukumnya, hakim pun tetap wajib
untuk mengadili perkara tersebut. Sehingga pada prinsipnya, asas legalitas
harus dijadikan pedoman awal bagi hakim untuk mengadili kasus yang sedang
mereka tangani.
Dalam
hal putusan tersebut sudah berlangsung sekian lama dan diputus oleh pengadilan
tertinggi (Mahkamah Agung), maka putusan tersebut dapat menjadi yurisprudensi.
Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formal selain undang-undang,
kebiasaan, dan traktat.
Menurut
S.J. Fockema Andreae dalam Rechtsgeleerd Handwoordenboek, yurisprudensi dapat
berarti ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan.
Dalam
Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (Ahmad Kamil dan M. Fauzan, hal. 10), Prof.
Subekti memberikan pengertian yurisprudensi sebagai:
“Putusan-putusan
hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh
Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri
yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat dikatakan ada hukum yang
dicipta melalui yurisprudensi.”
Ahmad
Kamil dan M. Fauzan (hal. 11) juga menyatakan bahwa Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) telah mengeluarkan syarat-syarat suatu putusan dapat dianggap
sebagai yurisprudensi, antara lain:
1. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang
belum jelas pengaturan perundang-undangannya;
2. Putusan tersebut harus merupakan putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap;
3. Telah berulang kali dijadikan dasar untuk
memutus perkara yang sama;
4. Putusan tersebut telah memenuhi rasa
keadilan;
5. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah
Agung.
Hakim
di Indonesia tidak terikat untuk melaksanakan yurisprudensi. Yurisprudensi
hanya dianggap sebagai pedoman atau arahan untuk memutus suatu perkara. Apabila
terdapat pertentangan antara hukum yang ada dengan yurisprudensi, yang berlaku
adalah hukum. Untuk memahami lebih jelas mengenai pengertian yurisprudensi dan
perbedaan sifat mengikatnya dengan preseden silakan baca Perbedaan Sifat
Mengikat antara Preseden dengan Yurisprudensi.
Dengan
demikian, harus dicermati bahwa kebolehan hakim untuk menghukum seseorang tanpa
adanya dasar hukum bukan karena yurisprudensi, melainkan karena hal tersebut
adalah prinsip dari kekuasaan kehakiman untuk mencari keadilan.
Semoga
penjelasan ini dapat menjawab pertanyaan Saudara.
Salam.
Dasar
hukum:
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesie (Staatblad 1847 No. 23);
2. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar