Senin, 24 Juni 2013

Penerapan PKWT setelah Putusan MK (I)



Setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012 mengenai ketentuan Pasal 59, 64, 65 dan 66 UU No. 13 Tahun 2003, maka perlindungan bagi hak-hak pekerja/buruh yang didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu dan biasanya dilakukan dengan sistem outsoursing akan lebih terjamin. Pasalnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyebutkan bahwa:

Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian telah ditindaklanjuti oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Surat Edaran Direktorat Jenderal pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja  Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tanggal 20 Januari 2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, yang pada intinya menyebutkan bahwa:

Dalam hal perusahaan menerapkan sistem penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh, sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka:
  1. apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan/ perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/ buruhnya tidak memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan/ perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan/ perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya harus didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
  2. apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan/ perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan/ perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan/ perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada Perjanjian Kerja waktu Tertentu (PKWT).

Putusan Mahkamah Konstitusi dan surat Edaran dari Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja merupakan penjabaran/ pelaksanaan dari ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep.101/MEN/VI/2004 tanggal 25 Juni 2004 Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Dalam keputusan Menteri dijelaskan bahwa Perusahaan penyedia jasa dan perusahaan pemberi pekerjaan harus membuat perjanjian secara tertulis dimana isi perjanjiannya harus memuat hal-hal mengenai:

  1. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa;
  1. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul manjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
  1. penegasan bahwa perusahaan penyedia jasaja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerja yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Dengan demikian perlindungan hukum bagi pekerja/buruh yang didapatkan dari perusahaan pemborongan/perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya tidak akan hilang, karena dialihkan kepada perusahaan pemborongan/perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Sedangkan yang dimaksud dengan “objek kerjanya tetap (sama)” adalah pekerjaan – pekerjaan penunjang yang biasanya ada dalam suatu perusahaan dan dikerjakan/dilaksanakan secara terus menerus atau dengan kata lain pekerjaannya sama dan biasanya selalu ada dalam suatu perusahaan. Contohnya pekerjaan sebagai office boy, officegirl, security, cleaning service, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar