Jumat, 06 Februari 2015

UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN

PEMBAHASAN
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN

A.    Pengertian

Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalaha/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak.

B.     Macam-macam Upaya Hukum    

Upaya hukum dibedakan antara upaya hukum terhadap upaya hukum biasa dengan upaya hukum luar biasa.

1.      Upaya hukum biasa    

Pada dasarnya menangguhkan eksekusi. Dengan pengecualian yaitu apabila putusan tersebut telah dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau uitboverbaar bij voorraad dalam pasal 180 ayat (1) HIR jadi meskipun dilakukan upaya hukum, tetap saja eksekusi berjalan terus.

Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Upaya ini mencakup:

a.       Perlawanan/verzet

Suatu upaya hukum terhadap putusan di luar hadirnya tergugat (putusan verstek). Dasar hukum verzet dapat dilihat di dalam pasal 129 HIR. Verzet dapat dilakukan dalam tempo/tenggang waktu 14 hari (termasuk hari libur) setelah putusan putusan verstek diberitahukan atau disampaikan kepada tergugat karena tergugat tidak hadir Syarat verzet adalah (pasal 129 ayat (1) HIR):

1.      keluarnya putusan verstek
2.      jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14 hari dan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari; dan
3.      verzet dimasukan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah hukum dimana penggugat mengajukan gugatannya

b.     Banding

Adalah upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan.

Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947). Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut ketentuan pasal 188-194 HIR, yaitu:

1.         Ada pernyataan ingin banding
2.         Panitera membuat akta banding
3.         Dicatat dalam register induk perkara
4.         Pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.
5.         Pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra memori banding

Mengenai pemeriksaan tingkat banding dalam KUHAP dapat dilihat pada pasal 233 – 243, diantaranya dibahas antara lain mengenai :

a.       Penerimaan permintaan banding.

Penerimaan permohonan banding dilakukan atas alasan permintaan yang memenuhi persyaratan undang-undang, diantaranya :

Permohonan banding memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 233 yang antara lain memuat :

Ø      Permohonan diajukan kepada panitera pengadilan negeri yang memutus perkara tersebut.
Ø      Permohonan banding diajukan terhadap putusan yang dapat diminta banding.
Ø    Permintaan banding diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan yakni 7 hari sesudah putusan dijatuhkan.

b.      Tatacara penerimaan banding

Ø      permohonan permintaan banding disampaikan kepada panitera pengadilan negeri yang memutus perkara tersebut, dalam hal ini panitera wajib membuat akta permintaan banding yang di tandatangani oleh pemohon.
Ø      Permohonan banding juga dapat dilakukan tanpa menghadap langsung pada panitera yang mungkin karena pemohon berhalangan.
Ø      Yang berhak mengajukan permintaan banding antara lain terdakwa, orang yang khusus dikuasakan terdakwa, petuntut umum, terdakwa dengan petuntut umum yang sekaligus sama-sama mengajukan banding.

 c.     permintaan banding wajib diberitahukan kepada pihak lain agar mereka dapat mempersiapkan diri.
 d.    Tenggang waktu pengiriman berkas paling lambat 14 hari terhitung sejak permohonan banding diajukan.

 e.    Memori dan kontra memori banding adalah uraian atau risalah yang memuat tanggapan keberatan terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama, hal ini diajukan oleh pemohon untuk mengemukakan kelemahan dan ketidaktepatan penafsiran atau penerapan hukum yang terdapat dalam putusan pengadilan tingkat pertama. Kontra memori banding ini merupakan hak kepada pemohon, bukan kewajiban hukum jadi tanpa memori banding pun perkara tetap diperiksa.

 f.     Pencabutan permohonan banding dapat dilakukan selama perkara banding belum diputuskan oleh pengadilan tinggi, jadi apabila telah dicabut permintaan banding keatas perkara tersebut tidak dapat diajukan lagi.

g.      Pemeriksaan pada tingkat banding hanya berdasarkan berkas perkara yang terdiri daripada :

·         berita acara pemeriksaan penyidik
·         berita acara pemeriksaan disidang pengadilan negeri
·         semua surat yang timbul selama pemeriksaan sidang negeri sepanjang surat tersebut berhubungan dengan perkara
·         putusan yang dijatuhkan pengadilan negeri

Walaupun di pengadilan tinggi pemeriksaan hanya didasarkan atas berkas perkara, namun tidak menuntut kemungkinan pihak pengadilan tinggi mendengar langsung pernyataan yang dianggap perlu kepada pihak yang bersangkutan

 h.    bentuk putusan tingkat banding dapat berupa :

1).    menguatkan putusan pengadilan negeri. Baik secara murni maupun dengan tambahan pertimbangan atau bisa juga menguatkan putusan dengan alasan pertimbangan lain.
2).    Mengubah atau memperbaiki putusan peradilan negeri, dapat berupa:

·         perubahan atau perbaikan kualifikasi tindak pidana
·          perubahan atau perbaikan mengenai alat bukti
·         perubahan atau perbaikan pemidanaan

c.       Kasasi

Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir.

Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 adalah:

1.      Tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk melampaui batas wewenang;
2.      Salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku
3.      lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Dalam buku yang dikarang oleh M.Yahya beliau menjelaskan setidak ada tiga alas an yang dibenarkan oleh UU untuk mengajukan kasasi, di antaranya:

a.       Untuk menguji apakah benar suatu peraturan hukum telah diterapkan sebagaimana mestinya atau tidak.
b.      Untuk menguji apakah benar cara mengadili telah dilaksanakan berdasarkan ketentuan UU.
c.       Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Prosedur permohonan kasasi antara lain meliputi :

Ø      pengajuan permohonan kasasi kepada panitera pengadilan yang telah memutuskan perkaranya dalam waktu 14 hari sesudah putusan dan ditandai dengan adanya tanda terima penyerahan memori kasasi.
Ø      permintaan tersebut ditulis oleh panitera yang kemudian ditandatangani oleh panitera dan pemohon serta dicatat dalam berkas perkara.
Ø Permintaan kasasi wajib diberitahukan kepada semua pihak yang berkepentingan.
Ø Pemeriksaan kasasi dilakukan dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim meliputi berkas perkara. Tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pemeriksaan tambahan.

2.      Upaya hukum luar biasa

Disebut upaya hukum luar biasa karena:

·         Diajukan dan ditujukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap.
·         Upaya ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu, bukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap.
·         Upaya hukum luar biasa diajukan kepada mahkamah agung sebagai pemeriksa, serta pembuat keputusan sebagai instansi pertama dan terakhir.

Upaya hukum luar biasa dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pada asasnya upaya hukum ini tidak menangguhkan eksekusi. Mencakup:        
           
a.      Peninjauan kembali (request civil)        

Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkempentingan. (pasal 66-77 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004)     
Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004, yaitu:

1.      Ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus yang didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana yang dinyatakan palsu;
2.   Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemuksn;
3.   Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada yang dituntut;
4.   Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5.   Apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu kekeliruan yang nyata. Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. (pasal 69 UU 14/1985). Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir (pasal 70 UU no 14/1985).


v  Tata cara mengajukan peninjauan kembali meliputi;

 a.)  Permintaan peninjauan kembali diajukan baik secara tertulis maupun lisan dengan mengemukakan alasan-alasan yang mendasari permintaan peninjauan kembali kepada panitera yang memutus perkara itu pada tingkat pertama tanpa batas waktu.
 b.)              Kemudian panitera membuat akta permintaan PK yang ditanda tangani oleh permohonan panitera. Kemudian berkas tersebut disampaikan kepada mahkamah agung melalaui ketua pengadilan.  

b.      Perlawanan pihak ketiga (denderverzet) terhadap sita eksekutorial

Terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut. Dasar hukumnya adalah 378-384 Rv dan pasal 195 (6) HIR. Dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya suatu putusan hanya mengikat pihak yang berperkara saja (pihak penggugat dan tergugat) dan tidak mnegikat pihak ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan mengikat orang lain/pihak ketiga, oleh ebab itu dikatakan luar biasa). Denderverzet diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama


PENUTUP

Sebagai Kesimpulan

Upaya hukum merupakan suatu tindakan yang diberikan atau hak yang diberikan oleh undang-undang kepada para pihak yang tidak puas dengan keputusan pengadilan diberbagai tingkatan pengadilan.
Ada dua upaya hukum yaitu:

1).    Upaya hukum biasa; yantermasuk kedalam upaya hukum biasa adalah:
a.       Upaya hukum banding
b.      Upaya hukum kasasi
2).    Upaya hukum luar biasa; yang termasuk kedalam upaya luar biasa adalah:
a.       Kasasi demi kepentingan hukum
b.      Peninjauan kembali (PK) putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Semua upaya hukum ini mempunyai aturan dan tatacara dalam pengajuannya. Dan juga merupakan hak dari setiap warga negara Indonesia yang tidak puas dengan keputusan pengadilan. 

[1][1]Dasar Hukum : Pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan  pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951 (UU-Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan  di Jawa dan Madura.  
[1] Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,cet. 1, (Jakarta

Kamis, 15 Agustus 2013

Perjanjian Sewa

PERJANJIAN SEWA MENYEWA

Perjanjian Sewa Menyewa ini dibuat pada hari ----, tanggal --- bulan ---, tahun---- (__-__-___-), oleh dan antara:

1.   Jam'an Suhaman, pensiunan, pemegang KTP No. ------ (terlampir), beralamat di --------------------, selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA;

2.  Popy Nurjanah, swasta, pemegang KTP Nomor: -----(terlampir), beralamat di --------, untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA;

PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA, masing-masing disebut sebagai PIHAK dan secara bersama-sama disebut PARA PIHAK.

PARA PIHAK dengan ini menerangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:

a.   Bahwa PIHAK PERTAMA adalah pemilik dari (sebutkan nama barang), dengan spesifikasi sebagai berikut:
      - .......
      - ......
      - dst.

b.   Bahwa (sebutkan nama barang) tersebut masih dalam masa cicilan kepada (_________);

Dengan ini PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA telah menyepakati syarat dan ketentuan sebagai berikut:

Pasal 1
OBJEK PERJANJIAN

Objek Perjanjian Sewa Menyewa ini adalah (sebutkan nama barang) merupakan alat kesehatan yang----(jelaskan secara singkat tentang barang itu).

Pasal 2
JANGKA WAKTU

(1). Perjanjian Sewa Menyewa ini berlaku selama -----tahun, atau terhitung sejak tanggal ----- sampai dengan tanggal ------;
(2). Perjanjian Sewa Menyewa ini dapat diperpanjang masa berlakunya dengan persetujuan PARA PIHAK.

Pasal 3
HARGA SEWA

(sebutkan nama barang) tersebut disewakan oleh PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA dengan harga Rp. ------------ (_---------------------).

Pasal 4
CARA PEMBAYARAN
Pembayaran uang sewa dari PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA akan dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:

a.   Pembayaran pertama akan dilakukan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA pada saat PIHAK PERTAMA menyerahkan (sebutkan nama barang) kepada PIHAK KEDUA, yaitu tanggal ------- ;
b.   Pembayaran kedua dan selanjutnya akan dibayarkan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA setiap bulannya sebelum tanggal -----;
c.   Apabila PIHAK KEDUA terlambat dalam melakukan pembayaran kepada PIHAK PERTAMA, maka PIHAK PERTAMA berhak untuk mengenakan denda keterlambatan sebesar ---% per bulan;

Pasal 5
HAK DAN KEWAJIBAN

a.   Hak dan Kewajiban PIHAK PERTAMA
-     PIHAK PERTAMA wajib menyerahkan (sebutkan nama barang) kepada PIHAK KEDUA pada tanggal --- sebagaimana dimsksud pada Pasal 4 Perjanjian Sewa Menyewa ini;
-     PIHAK PERTAMA berhak mendapatkan pembayaran atas sewa (sebutkan nama barang) dari PIHAK KEDUA tepat pada waktunya dan apabila terjadi keterlambatan, maka PIHAK PERTAMA berhak atas pembayaran denda keterlambatan dari PIHAK KEDUA.

b.   Hak dan Kewajiban PIHAK KEDUA
-     PIHAK KEDUA wajib untuk melakukan pembayaran tepat pada waktunya kepada PIHAK PERTAMA dan bersedia untuk dikenakan denda jika ternyata terlambat melakukan pembayaran sewa kepada PIHAK PERTAMA;
-     PIHAK KEDUA wajib untuk memelihara dan merawat (sebutkan nama barang) selama masa sewa (cantumkan jangka waktunya).
-     PIHAK KEDUA berhak menerima (sebutkan nama barang) dari PIHAK PERTAMA tepat pada waktunya;
-     PIHAK KEDUA berhak untuk mendapatkan tanda terima atas setiap pembayaran yang dilakukannya.

Pasal 6
KEADAAN KAHAR

Apabila ternyata selama masa penyewaan (sebutkan nama barang) oleh PIHAK KEDUA telah terjadi suatu bencana alam seperti kebakaran, gempa bumi, banjir, dsb, maka kerugian dari Perjanjian ini akan ditanggung secara tanggung renteng oleh PARA PIHAK.

Pasal 7
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Segala perselisihan yang timbul diantara PARA PIHAK akan diselesaikan secara musyawarah. Apabila musyawarah tidak dapat menyelesaikan perselisihan yang terjadi, maka PARA PIHAK sepakat untuk memilih domisili hukum Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat.

Pasal 8
PENUTUP

Segala perubahan dan/atau penambahan akan diatur tersendiri dalan suatu amandemen yang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini.

Demikian Perjanjian Sewa Menyewa ini dibuat oleh PARA PIHAK dengan itikad baik dalam 2 rangkap.


PIHAK PERTAMA                                                                 PIHAK KEDUA


materai                                                                                     materai

Jam'an Suhaman                                                                       Popy Nurjanah


Mengetahui Saksi-Saksi:

1. ----------------
2. --------------

Minggu, 14 Juli 2013

Asas Legalitas, Kebebasan Hakim Menafsirkan Hukum, dan Kaidah Yurisprudensi

Katanya hukum tidak boleh berlaku surut, dan jika tidak ada UU maka Yurisprudensi bisa dilakukan. Terus bagaimana dengan Asas Legalitas? Berarti orang bisa dong kena hukuman walaupun tidak ada UU-nya, yaitu lewat Yurisprudensi?

Seseorang dapat dihukum meskipun tidak ada peraturan yang mengatur larangan perbuatan yang dilakukan orang tersebut. Namun, kemungkinan tersebut bukan karena yurisprudensi. Untuk lebih jelasnya, simak penjelasan di bawah ini.

Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium legendaris von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, von Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:
1)    tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang,
2)    Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan
3)    Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-undang.

Adagium tersebut merupakan dasar dari asas bahwa ketentuan pidana tidak dapat berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya dapat dianggap sebagai kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik untuk dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan.

Sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti sistem hukum Anglo-Saxon yang menganut aliran freie rechtslehre yang memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum (judge made law). Sistem hukum di Indonesia menganut aliran rechtsvinding yang menegaskan hakim harus mendasarkan putusannya kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (“AB”) yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang. Namun demikian, hakim tetap memiliki kebebasan untuk menafsirkan dan berpendapat. Hakim memiliki keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid) dalam melaksanakan tugasnya mengadili suatu perkara.

Pada beberapa kesempatan, hakim akan dihadapkan kepada keadaan harus mengadili suatu perkara yang tidak memiliki dasar hukum atau pengaturan hukumnya tidak jelas. Dalam keadaan ini, hakim tidak dapat menolak untuk mengadili perkara tersebut dengan dalih tidak ada hukum yang mengatur.

Hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Juga dengan Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Selain dua ketentuan tersebut, Pasal 22 AB juga menyatakan bahwa hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili.

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa hakim harus mendasarkan putusannya dalam mengadili kepada peraturan perundang-undangan dan bebas untuk menafsirkan dan menginterpretasikan hukum tersebut. Meskipun demikian, dalam hal perkara yang diadili tidak ada atau tidak jelas dasar hukumnya, hakim pun tetap wajib untuk mengadili perkara tersebut. Sehingga pada prinsipnya, asas legalitas harus dijadikan pedoman awal bagi hakim untuk mengadili kasus yang sedang mereka tangani.

Dalam hal putusan tersebut sudah berlangsung sekian lama dan diputus oleh pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung), maka putusan tersebut dapat menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formal selain undang-undang, kebiasaan, dan traktat.

Menurut S.J. Fockema Andreae dalam Rechtsgeleerd Handwoordenboek, yurisprudensi dapat berarti ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan.

Dalam Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (Ahmad Kamil dan M. Fauzan, hal. 10), Prof. Subekti memberikan pengertian yurisprudensi sebagai:
“Putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat dikatakan ada hukum yang dicipta melalui yurisprudensi.”

Ahmad Kamil dan M. Fauzan (hal. 11) juga menyatakan bahwa Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah mengeluarkan syarat-syarat suatu putusan dapat dianggap sebagai yurisprudensi, antara lain:
1.    Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya;
2.    Putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;
3.    Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama;
4.    Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan;
5.    Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Hakim di Indonesia tidak terikat untuk melaksanakan yurisprudensi. Yurisprudensi hanya dianggap sebagai pedoman atau arahan untuk memutus suatu perkara. Apabila terdapat pertentangan antara hukum yang ada dengan yurisprudensi, yang berlaku adalah hukum. Untuk memahami lebih jelas mengenai pengertian yurisprudensi dan perbedaan sifat mengikatnya dengan preseden silakan baca Perbedaan Sifat Mengikat antara Preseden dengan Yurisprudensi.

Dengan demikian, harus dicermati bahwa kebolehan hakim untuk menghukum seseorang tanpa adanya dasar hukum bukan karena yurisprudensi, melainkan karena hal tersebut adalah prinsip dari kekuasaan kehakiman untuk mencari keadilan.

Semoga penjelasan ini dapat menjawab pertanyaan Saudara.

Salam.

Dasar hukum:
1.    Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Staatblad 1847 No. 23);

2.    Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Mengapa Peradilan di Indonesia Bertingkat-tingkat?

Mengapa dalam peradilan kita ada penjenjangan? Maksud saya begini: mengapa ada lembaga peradilan negeri, lembaga peradilan tinggi, MA dan seterusnya?
Prof. Sudikno Mertokusumo dalam tulisannya mengenai “Sistem Peradilan di Indonesia” menjelaskan mengapa terdapat tingkatan dalam sistem peradilan di Indonesia :

“Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding (peradilan dengan appellate jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada asasnya putusan yang telah dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu cermat, benar serta adil dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan yang lebih tinggi dalam tingkat banding.”

Landasan awal adanya tingkatan pada sistem peradilan di Indonesia ditetapkan di dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Dalam Pasal 24 UUD 1945 dinyatakan bahwa:

(1)   Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2)   Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3)   Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Melalui Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa terdapat tingkatan antara Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dan badan peradilan yang berada di bawahnya, yang kemudian akan diatur dalam undang-undang. Undang-Undang mengenai kekuasaan kehakiman yang berlaku pada saat ini adalah Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU No. 48/2009”), yang mana dalam konsiderans “Menimbang” poin b dinyatakan tujuan UU No. 48/2009 adalah dimaksudkan untuk melakukan penataan sistem peradilan yang terpadu agar mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa.

Mengenai tingkatan sistem peradilan di Indonesia sendiri diatur secara terperinci dalam Pasal 20 s.d. Pasal 28 UU No. 48/2009. Sesuai Pasal 24 UUD 1945 jo. Pasal 18 dan Pasal 25 ayat (1) UU No. 48/2009, terdapat empat lingkungan peradilan di Indonesia: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan ini memiliki kompetensi yang berbeda dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Pasal 25 ayat (2) s.d. ayat (5) UU No. 48/2009 menjelaskan mengenai kewenangan dari tiap lingkungan peradilan yang kemudian diatur lebih lanjut melalui ketentuan perundang-undangan yang lebih khusus. Misalnya, untuk lingkungan peradilan umum dapat ditemukan ketentuannya dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009. Mengenai jenjang dan proses dalam sistem peradilan di Indonesia, Pasal 26 ayat (1) UU No. 48/2009 menyatakan bahwa:

(1) Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Selanjutnya diatur dalam Pasal 23 UU No. 48/2009:

“Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.”

Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 24 UU No. 48/2009:

(1)   Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
(2)   Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Dari rangkaian penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenjang peradilan diperlukan untuk mengantisipasi ketidakcermatan yang mungkin dilakukan oleh hakim pada tingkatan sebelumnya dan memenuhi rasa keadilan. Jenjang pengadilan di Indonesia adalah pengadilan dalam tingkat pertama, pengadilan dalam tingkat banding, dan Mahkamah Agung. Badan peradilan lain yang terdapat dalam sistem peradilan di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi, yang mana menurut Pasal 24C UUD 1945 jo. Pasal 29 UU No. 48/2009 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk hal: menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi yang berlaku pada saat ini adalah Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2011.


Dasar hukum:
1.    Undang-Undang Dasar 1945;
2.    Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
3.    Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009;
4.    Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2011


Jumat, 12 Juli 2013

Filsafat Hukum : Pengantar filsafat dan filsafat hukum


Pengertian Filsafat

  • Filsafat (dalam arti ilmu ) adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan (menyelruh dan universal) dan kemudian (dalam pandangan hidup) adalah petunjuk arah kegiatan (aktivitas) manusia dalam segala bidang kehidupannya.
  • 3 (tiga) sifat pokok filsafat :
    • Menyeluruh
    • Mendasar
    • Spekulatif
  • Sifat menyeluruh mengandung arti bahwa cara berpikir filsafat tidaklah sempit (fragmentaris atau sektoral), tetapi selalu melihat persoalan dari tiap sudut yang ada.
  • Tiap sudut ini dianalisa secara mendalam sampai keakar-akarnya. Inilah yang dimaksud dengan sifat yang kedua yaitu mendasar atau radikal.
  • Untuk menganalisa suati persolan yang mendasar itu memang itu memang tidak mudah mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas adalah pertanyaan yang berada diluar jangkauan “ilmu biasa” dalam ha; ini filsafat menggunakan ciri ketiga yakni spekulatif.
  • Ciri yang lain adalah sifat reflektif kritis, yakni pengendapan dari apa yang dipikirkan secara berulang-ulang dan mendalam (kontemplasi).
Cabang utama Filsafat
  • Cabang ilmu filsafat adalah ontologi, epistemologi, aksiologi dan etika.
    • Ontologi (metafisika membahas tentang hakekat mendasar dari keberadan sesuatu.
    • Epistemologi membahas pengetahuan yang diperoleh manusia, misalnya mengenai asalnya (sumber) dari mana sajakah pengetahuan itu diperoleh manusia, apakah ukuran kebenaran pengetahuan yang diperoleh manusia itu dan bagaimanakah susunan pengetahuan yang sudah diperoleh manusia.
    • Aksiologi (filsafat nilai) adalah bagian dari filsafat yang khusus membahas mengenai hakikat nilai berkaitan dengan sesuatu.
    • Etika membahas yang berkaitan dengan tingkah laku manusia apakah baik dan buruk benar dan salah
Philosophy of Law
Philosophy of law are concerned with providing a general philosophical analysis of law and legal institutions. Issues in legal philosophy range from abstract conceptual questions about the nature of law and legal systems to normative questions about the relation between law and morality and the justification for various legal institutions. Topics in legal philosophy tend to bemore abstract than related topics in political philosophy and applied ethics. [Internet Encyclopedia of Philosophy]
Pengertian Filsafat Hukum
  • Filsafat Hukum mencari hakikat daripada hukum, yang menyelidiki kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai (Soetiksno)
  • Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, kecuali itu filsafat hukum mencakup penyerasian nilai-nilai. (Purnadi Purbacaraka)
  • Filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan Apakah hukum itu. Ilmu pengetahuan hukum hanya melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera bukan melihat dunia hukum yang tak dapat dilihat sebagai dan sepanjang ia menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan hukum. (Van Apeldoorn).
  • Filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti : Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan: adanya dan tujuan hukum). Apakah sebabnya maka kita mentaati hukum? (persoalan: berlakunya hukum). Apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu? (persoalan keadilan hukum).
    (E. Utrecht).
  • Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum. Filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan pertanyaan konsisten logis dari asas-asas, peraturan-pertauran, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri. Berbeda dengan filsafat hukum yang mengambil hukum sebagai fenomen universal sebagai sasaran perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan menggunakan standar analisis.(Satjipto Rahardjo)

Rabu, 10 Juli 2013

Likuidasi Perseroan Terbatas




UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)

I.        Pengertian

Definisi likuidasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “pembubaran perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan pembagaian harta yang tersisa kepada para  pemegang saham (Persero)”.

Tujuan likuidasi adalah untuk melakukan pengurusan dan pemberesan atas harta perusahaan yang dibubarkan. Likuidasi wajib dilakukan ketika sebuah Perseroan dibubarkan, bukan dibubarkan karena penggabungan dan/atau peleburan.

II.     Alasan Pembubaran
(Pasal 142 (1) UU PT)

a.       Berdasarkan keputusan RUPS;
b.       Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
c.       Berdasarkan penetapan pengadilan;
d.       Dengan dicabutnya Kepailitan berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e.       Karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan Pailit berada dalam insolvensi sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan dan PKPU; atau
f.         Karena dicabutnya izin usaha Perseoan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

III.   Ketentuan Likuidasi

1.        Proses likuidasi (pembubaran perseroan) wajib dilakukan oleh likuidator atau kurator;
2.      Jika Perseroan bubar karena jangka waktu telah berakhir, maka direksi bertindak selaku likuidator;
3.       Jika Perseroan bubar dengan alasan Pasal 142 ayat (1) huruf d, maka Pengadilan Niaga harus menghentikan kurator;
4.      Pembubaran perseroan (dalam proses) tidak mengakibatkan status badan hukum akan hilang.
Status Badan Hukum akan hlang jika proses likuidasi telah selesai dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS/pengadilan;
5.       Berdasarkan Pasal 146 UUPT, Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan terbatas, karena:
a.       Permohonan Kejaksaan, karena perseroan dinilai telah melanggar kepentingan umum;
b.       Permohonan pihak yang berkepentingan, karena adanya cacad hukum dalam akta pendirian;
c.       Permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris karena perseroan tidak mungkin dilanjutkan.
6.       Adanya pemberitahuan kepada para kreditur dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

IV.  Jangka Waktu Proses Likuidasi

i).       30 hari setelah tanggal pembubaran, likuidator/kurator, wajib memberitahukan:

a). kepada semua kreditor dalam pengumuman di surat kabar dan berita Negara RI; dan
b).  kepada Menteri untuk dicatat dalam draft perseroan yang dilikuidasi.

ii).      60 hari setelah pengumuman di Koran/surat kabar, merupakan jangka waktu bagi kreditor untuk mengajukan tagihan;

iii).     Paling lambat dalam 30 hari setelah tanggal pertanggungjawaban likuidasi, likuidator/kurator, wajib mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam surat kabar.

Catatan:

1.     Pengumuman di Koran paling sedikit memuat:
-          nama perseroan dan dasar hukumnya;
-          nama dan alamat likuidator;
-          tata cara pengajuan tagihan
-          jangka waktu pengajuan tagihan

2.    Pemberitahuan kepada menteri harus dilengkapi dengan:
-          dasar hukum pembubaran perseroan; dan
-          Pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar.

3. Likuidator bertanggungjawab kepada RUPS atau Pengadilan. Sedangkan Kurator bertanggungjawab kepada Hakim pengawas.

V.     Likuidasi oleh Kurator

Menurut Pasal 142 ayat (2) huruf a dan penjelasannya, yang dimaksud dengan “likuidasi yang dilakukan kurator” adalah likuidasi yang dilakukan dalam hal Perseroan bubar karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit dalam keadaan insolvensi.

Perseroan yang dinyatakan pailit, harta kekayaannya akan diurus oleh kurator. Saat perseroan dinyatakan pailit, seketika itu juga akan diangkat curator untuk mengurus/membereskan harta kekayaan perseroan berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pengangkatan curator dituangkan dalam amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga.

Dalam UUPT, pembubaran perseroan wajib diikuti dengan likuidasi oleh likuidator/kurator. Pembubaran perseroan dapat dilakukan dengan alasan bahwa perseroan telah dinyatakan pailit dan saat itu perseroan tengah diurus oleh kurator.

Jadi likuidasi perseroan oleh kurator hanya sebatas apabila perseroan tersebut telah dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya oleh pengadilan niaga. Dengan demikian pasal-pasal UUPT yang mengatur tentang likuidasi tidak bisa sepenuhnya berlaku bagi kurator.


Sumber:
  1. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
  2. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
  3.  http://www.hukumperseroanterbatas.com/2011/11/03/tahap-tahap-likuidasi-perseroan-terbatas/#sthash.vZLGdN1L.dpuf