Mengapa Peradilan di Indonesia Bertingkat-tingkat?
Mengapa
dalam peradilan kita ada penjenjangan? Maksud saya begini: mengapa ada lembaga
peradilan negeri, lembaga peradilan tinggi, MA dan seterusnya?
Prof.
Sudikno Mertokusumo dalam tulisannya mengenai “Sistem Peradilan di Indonesia”
menjelaskan mengapa terdapat tingkatan dalam sistem peradilan di Indonesia :
“Hakim
sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga putusan
yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal
itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat,
yaitu peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu
peradilan dalam tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding
(peradilan dengan appellate jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat
pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada asasnya putusan yang telah dijatuhkan
pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu cermat, benar serta adil
dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan yang lebih tinggi
dalam tingkat banding.”
Landasan
awal adanya tingkatan pada sistem peradilan di Indonesia ditetapkan di dalam
konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Dalam Pasal 24 UUD 1945
dinyatakan bahwa:
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Melalui
Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa terdapat
tingkatan antara Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dan badan
peradilan yang berada di bawahnya, yang kemudian akan diatur dalam
undang-undang. Undang-Undang mengenai kekuasaan kehakiman yang berlaku pada
saat ini adalah Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(“UU No. 48/2009”), yang mana dalam konsiderans “Menimbang” poin b dinyatakan
tujuan UU No. 48/2009 adalah dimaksudkan untuk melakukan penataan sistem
peradilan yang terpadu agar mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
peradilan yang bersih serta berwibawa.
Mengenai
tingkatan sistem peradilan di Indonesia sendiri diatur secara terperinci dalam
Pasal 20 s.d. Pasal 28 UU No. 48/2009. Sesuai Pasal 24 UUD 1945 jo. Pasal 18
dan Pasal 25 ayat (1) UU No. 48/2009, terdapat empat lingkungan peradilan di
Indonesia: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan ini memiliki kompetensi yang
berbeda dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Pasal 25 ayat (2) s.d.
ayat (5) UU No. 48/2009 menjelaskan mengenai kewenangan dari tiap lingkungan
peradilan yang kemudian diatur lebih lanjut melalui ketentuan
perundang-undangan yang lebih khusus. Misalnya, untuk lingkungan peradilan umum
dapat ditemukan ketentuannya dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2004
dan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009. Mengenai jenjang dan proses dalam sistem
peradilan di Indonesia, Pasal 26 ayat (1) UU No. 48/2009 menyatakan bahwa:
(1)
Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan
tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan
lain.
Selanjutnya
diatur dalam Pasal 23 UU No. 48/2009:
“Putusan
pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung
oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.”
Lebih
lanjut dinyatakan dalam Pasal 24 UU No. 48/2009:
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan
tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak
dapat dilakukan peninjauan kembali.
Dari
rangkaian penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenjang peradilan
diperlukan untuk mengantisipasi ketidakcermatan yang mungkin dilakukan oleh
hakim pada tingkatan sebelumnya dan memenuhi rasa keadilan. Jenjang pengadilan
di Indonesia adalah pengadilan dalam tingkat pertama, pengadilan dalam tingkat
banding, dan Mahkamah Agung. Badan peradilan lain yang terdapat dalam sistem
peradilan di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi, yang mana menurut Pasal 24C
UUD 1945 jo. Pasal 29 UU No. 48/2009 berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk hal: menguji undang-undang
terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik;
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan kewenangan lain yang
diberikan oleh undang-undang. Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi yang
berlaku pada saat ini adalah Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah
diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2011.
Dasar
hukum:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman;
3. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2004
dan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009;
4. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar