Minggu, 14 Juli 2013

Mengapa Peradilan di Indonesia Bertingkat-tingkat?

Mengapa dalam peradilan kita ada penjenjangan? Maksud saya begini: mengapa ada lembaga peradilan negeri, lembaga peradilan tinggi, MA dan seterusnya?
Prof. Sudikno Mertokusumo dalam tulisannya mengenai “Sistem Peradilan di Indonesia” menjelaskan mengapa terdapat tingkatan dalam sistem peradilan di Indonesia :

“Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding (peradilan dengan appellate jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada asasnya putusan yang telah dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu cermat, benar serta adil dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan yang lebih tinggi dalam tingkat banding.”

Landasan awal adanya tingkatan pada sistem peradilan di Indonesia ditetapkan di dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Dalam Pasal 24 UUD 1945 dinyatakan bahwa:

(1)   Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2)   Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3)   Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Melalui Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa terdapat tingkatan antara Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dan badan peradilan yang berada di bawahnya, yang kemudian akan diatur dalam undang-undang. Undang-Undang mengenai kekuasaan kehakiman yang berlaku pada saat ini adalah Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU No. 48/2009”), yang mana dalam konsiderans “Menimbang” poin b dinyatakan tujuan UU No. 48/2009 adalah dimaksudkan untuk melakukan penataan sistem peradilan yang terpadu agar mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa.

Mengenai tingkatan sistem peradilan di Indonesia sendiri diatur secara terperinci dalam Pasal 20 s.d. Pasal 28 UU No. 48/2009. Sesuai Pasal 24 UUD 1945 jo. Pasal 18 dan Pasal 25 ayat (1) UU No. 48/2009, terdapat empat lingkungan peradilan di Indonesia: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan ini memiliki kompetensi yang berbeda dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Pasal 25 ayat (2) s.d. ayat (5) UU No. 48/2009 menjelaskan mengenai kewenangan dari tiap lingkungan peradilan yang kemudian diatur lebih lanjut melalui ketentuan perundang-undangan yang lebih khusus. Misalnya, untuk lingkungan peradilan umum dapat ditemukan ketentuannya dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009. Mengenai jenjang dan proses dalam sistem peradilan di Indonesia, Pasal 26 ayat (1) UU No. 48/2009 menyatakan bahwa:

(1) Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Selanjutnya diatur dalam Pasal 23 UU No. 48/2009:

“Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.”

Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 24 UU No. 48/2009:

(1)   Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
(2)   Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Dari rangkaian penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenjang peradilan diperlukan untuk mengantisipasi ketidakcermatan yang mungkin dilakukan oleh hakim pada tingkatan sebelumnya dan memenuhi rasa keadilan. Jenjang pengadilan di Indonesia adalah pengadilan dalam tingkat pertama, pengadilan dalam tingkat banding, dan Mahkamah Agung. Badan peradilan lain yang terdapat dalam sistem peradilan di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi, yang mana menurut Pasal 24C UUD 1945 jo. Pasal 29 UU No. 48/2009 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk hal: menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi yang berlaku pada saat ini adalah Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2011.


Dasar hukum:
1.    Undang-Undang Dasar 1945;
2.    Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
3.    Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009;
4.    Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar