Minggu, 14 Juli 2013

Asas Legalitas, Kebebasan Hakim Menafsirkan Hukum, dan Kaidah Yurisprudensi

Katanya hukum tidak boleh berlaku surut, dan jika tidak ada UU maka Yurisprudensi bisa dilakukan. Terus bagaimana dengan Asas Legalitas? Berarti orang bisa dong kena hukuman walaupun tidak ada UU-nya, yaitu lewat Yurisprudensi?

Seseorang dapat dihukum meskipun tidak ada peraturan yang mengatur larangan perbuatan yang dilakukan orang tersebut. Namun, kemungkinan tersebut bukan karena yurisprudensi. Untuk lebih jelasnya, simak penjelasan di bawah ini.

Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium legendaris von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, von Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:
1)    tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang,
2)    Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan
3)    Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-undang.

Adagium tersebut merupakan dasar dari asas bahwa ketentuan pidana tidak dapat berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya dapat dianggap sebagai kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik untuk dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan.

Sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti sistem hukum Anglo-Saxon yang menganut aliran freie rechtslehre yang memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum (judge made law). Sistem hukum di Indonesia menganut aliran rechtsvinding yang menegaskan hakim harus mendasarkan putusannya kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (“AB”) yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang. Namun demikian, hakim tetap memiliki kebebasan untuk menafsirkan dan berpendapat. Hakim memiliki keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid) dalam melaksanakan tugasnya mengadili suatu perkara.

Pada beberapa kesempatan, hakim akan dihadapkan kepada keadaan harus mengadili suatu perkara yang tidak memiliki dasar hukum atau pengaturan hukumnya tidak jelas. Dalam keadaan ini, hakim tidak dapat menolak untuk mengadili perkara tersebut dengan dalih tidak ada hukum yang mengatur.

Hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Juga dengan Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Selain dua ketentuan tersebut, Pasal 22 AB juga menyatakan bahwa hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili.

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa hakim harus mendasarkan putusannya dalam mengadili kepada peraturan perundang-undangan dan bebas untuk menafsirkan dan menginterpretasikan hukum tersebut. Meskipun demikian, dalam hal perkara yang diadili tidak ada atau tidak jelas dasar hukumnya, hakim pun tetap wajib untuk mengadili perkara tersebut. Sehingga pada prinsipnya, asas legalitas harus dijadikan pedoman awal bagi hakim untuk mengadili kasus yang sedang mereka tangani.

Dalam hal putusan tersebut sudah berlangsung sekian lama dan diputus oleh pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung), maka putusan tersebut dapat menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formal selain undang-undang, kebiasaan, dan traktat.

Menurut S.J. Fockema Andreae dalam Rechtsgeleerd Handwoordenboek, yurisprudensi dapat berarti ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan.

Dalam Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (Ahmad Kamil dan M. Fauzan, hal. 10), Prof. Subekti memberikan pengertian yurisprudensi sebagai:
“Putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat dikatakan ada hukum yang dicipta melalui yurisprudensi.”

Ahmad Kamil dan M. Fauzan (hal. 11) juga menyatakan bahwa Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah mengeluarkan syarat-syarat suatu putusan dapat dianggap sebagai yurisprudensi, antara lain:
1.    Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya;
2.    Putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;
3.    Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama;
4.    Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan;
5.    Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Hakim di Indonesia tidak terikat untuk melaksanakan yurisprudensi. Yurisprudensi hanya dianggap sebagai pedoman atau arahan untuk memutus suatu perkara. Apabila terdapat pertentangan antara hukum yang ada dengan yurisprudensi, yang berlaku adalah hukum. Untuk memahami lebih jelas mengenai pengertian yurisprudensi dan perbedaan sifat mengikatnya dengan preseden silakan baca Perbedaan Sifat Mengikat antara Preseden dengan Yurisprudensi.

Dengan demikian, harus dicermati bahwa kebolehan hakim untuk menghukum seseorang tanpa adanya dasar hukum bukan karena yurisprudensi, melainkan karena hal tersebut adalah prinsip dari kekuasaan kehakiman untuk mencari keadilan.

Semoga penjelasan ini dapat menjawab pertanyaan Saudara.

Salam.

Dasar hukum:
1.    Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Staatblad 1847 No. 23);

2.    Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Mengapa Peradilan di Indonesia Bertingkat-tingkat?

Mengapa dalam peradilan kita ada penjenjangan? Maksud saya begini: mengapa ada lembaga peradilan negeri, lembaga peradilan tinggi, MA dan seterusnya?
Prof. Sudikno Mertokusumo dalam tulisannya mengenai “Sistem Peradilan di Indonesia” menjelaskan mengapa terdapat tingkatan dalam sistem peradilan di Indonesia :

“Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding (peradilan dengan appellate jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada asasnya putusan yang telah dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu cermat, benar serta adil dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan yang lebih tinggi dalam tingkat banding.”

Landasan awal adanya tingkatan pada sistem peradilan di Indonesia ditetapkan di dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Dalam Pasal 24 UUD 1945 dinyatakan bahwa:

(1)   Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2)   Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3)   Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Melalui Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa terdapat tingkatan antara Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dan badan peradilan yang berada di bawahnya, yang kemudian akan diatur dalam undang-undang. Undang-Undang mengenai kekuasaan kehakiman yang berlaku pada saat ini adalah Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU No. 48/2009”), yang mana dalam konsiderans “Menimbang” poin b dinyatakan tujuan UU No. 48/2009 adalah dimaksudkan untuk melakukan penataan sistem peradilan yang terpadu agar mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa.

Mengenai tingkatan sistem peradilan di Indonesia sendiri diatur secara terperinci dalam Pasal 20 s.d. Pasal 28 UU No. 48/2009. Sesuai Pasal 24 UUD 1945 jo. Pasal 18 dan Pasal 25 ayat (1) UU No. 48/2009, terdapat empat lingkungan peradilan di Indonesia: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan ini memiliki kompetensi yang berbeda dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Pasal 25 ayat (2) s.d. ayat (5) UU No. 48/2009 menjelaskan mengenai kewenangan dari tiap lingkungan peradilan yang kemudian diatur lebih lanjut melalui ketentuan perundang-undangan yang lebih khusus. Misalnya, untuk lingkungan peradilan umum dapat ditemukan ketentuannya dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009. Mengenai jenjang dan proses dalam sistem peradilan di Indonesia, Pasal 26 ayat (1) UU No. 48/2009 menyatakan bahwa:

(1) Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Selanjutnya diatur dalam Pasal 23 UU No. 48/2009:

“Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.”

Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 24 UU No. 48/2009:

(1)   Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
(2)   Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Dari rangkaian penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenjang peradilan diperlukan untuk mengantisipasi ketidakcermatan yang mungkin dilakukan oleh hakim pada tingkatan sebelumnya dan memenuhi rasa keadilan. Jenjang pengadilan di Indonesia adalah pengadilan dalam tingkat pertama, pengadilan dalam tingkat banding, dan Mahkamah Agung. Badan peradilan lain yang terdapat dalam sistem peradilan di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi, yang mana menurut Pasal 24C UUD 1945 jo. Pasal 29 UU No. 48/2009 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk hal: menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi yang berlaku pada saat ini adalah Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2011.


Dasar hukum:
1.    Undang-Undang Dasar 1945;
2.    Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
3.    Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009;
4.    Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2011


Jumat, 12 Juli 2013

Filsafat Hukum : Pengantar filsafat dan filsafat hukum


Pengertian Filsafat

  • Filsafat (dalam arti ilmu ) adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan (menyelruh dan universal) dan kemudian (dalam pandangan hidup) adalah petunjuk arah kegiatan (aktivitas) manusia dalam segala bidang kehidupannya.
  • 3 (tiga) sifat pokok filsafat :
    • Menyeluruh
    • Mendasar
    • Spekulatif
  • Sifat menyeluruh mengandung arti bahwa cara berpikir filsafat tidaklah sempit (fragmentaris atau sektoral), tetapi selalu melihat persoalan dari tiap sudut yang ada.
  • Tiap sudut ini dianalisa secara mendalam sampai keakar-akarnya. Inilah yang dimaksud dengan sifat yang kedua yaitu mendasar atau radikal.
  • Untuk menganalisa suati persolan yang mendasar itu memang itu memang tidak mudah mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas adalah pertanyaan yang berada diluar jangkauan “ilmu biasa” dalam ha; ini filsafat menggunakan ciri ketiga yakni spekulatif.
  • Ciri yang lain adalah sifat reflektif kritis, yakni pengendapan dari apa yang dipikirkan secara berulang-ulang dan mendalam (kontemplasi).
Cabang utama Filsafat
  • Cabang ilmu filsafat adalah ontologi, epistemologi, aksiologi dan etika.
    • Ontologi (metafisika membahas tentang hakekat mendasar dari keberadan sesuatu.
    • Epistemologi membahas pengetahuan yang diperoleh manusia, misalnya mengenai asalnya (sumber) dari mana sajakah pengetahuan itu diperoleh manusia, apakah ukuran kebenaran pengetahuan yang diperoleh manusia itu dan bagaimanakah susunan pengetahuan yang sudah diperoleh manusia.
    • Aksiologi (filsafat nilai) adalah bagian dari filsafat yang khusus membahas mengenai hakikat nilai berkaitan dengan sesuatu.
    • Etika membahas yang berkaitan dengan tingkah laku manusia apakah baik dan buruk benar dan salah
Philosophy of Law
Philosophy of law are concerned with providing a general philosophical analysis of law and legal institutions. Issues in legal philosophy range from abstract conceptual questions about the nature of law and legal systems to normative questions about the relation between law and morality and the justification for various legal institutions. Topics in legal philosophy tend to bemore abstract than related topics in political philosophy and applied ethics. [Internet Encyclopedia of Philosophy]
Pengertian Filsafat Hukum
  • Filsafat Hukum mencari hakikat daripada hukum, yang menyelidiki kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai (Soetiksno)
  • Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, kecuali itu filsafat hukum mencakup penyerasian nilai-nilai. (Purnadi Purbacaraka)
  • Filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan Apakah hukum itu. Ilmu pengetahuan hukum hanya melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera bukan melihat dunia hukum yang tak dapat dilihat sebagai dan sepanjang ia menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan hukum. (Van Apeldoorn).
  • Filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti : Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan: adanya dan tujuan hukum). Apakah sebabnya maka kita mentaati hukum? (persoalan: berlakunya hukum). Apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu? (persoalan keadilan hukum).
    (E. Utrecht).
  • Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum. Filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan pertanyaan konsisten logis dari asas-asas, peraturan-pertauran, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri. Berbeda dengan filsafat hukum yang mengambil hukum sebagai fenomen universal sebagai sasaran perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan menggunakan standar analisis.(Satjipto Rahardjo)

Rabu, 10 Juli 2013

Likuidasi Perseroan Terbatas




UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)

I.        Pengertian

Definisi likuidasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “pembubaran perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan pembagaian harta yang tersisa kepada para  pemegang saham (Persero)”.

Tujuan likuidasi adalah untuk melakukan pengurusan dan pemberesan atas harta perusahaan yang dibubarkan. Likuidasi wajib dilakukan ketika sebuah Perseroan dibubarkan, bukan dibubarkan karena penggabungan dan/atau peleburan.

II.     Alasan Pembubaran
(Pasal 142 (1) UU PT)

a.       Berdasarkan keputusan RUPS;
b.       Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
c.       Berdasarkan penetapan pengadilan;
d.       Dengan dicabutnya Kepailitan berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e.       Karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan Pailit berada dalam insolvensi sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan dan PKPU; atau
f.         Karena dicabutnya izin usaha Perseoan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

III.   Ketentuan Likuidasi

1.        Proses likuidasi (pembubaran perseroan) wajib dilakukan oleh likuidator atau kurator;
2.      Jika Perseroan bubar karena jangka waktu telah berakhir, maka direksi bertindak selaku likuidator;
3.       Jika Perseroan bubar dengan alasan Pasal 142 ayat (1) huruf d, maka Pengadilan Niaga harus menghentikan kurator;
4.      Pembubaran perseroan (dalam proses) tidak mengakibatkan status badan hukum akan hilang.
Status Badan Hukum akan hlang jika proses likuidasi telah selesai dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS/pengadilan;
5.       Berdasarkan Pasal 146 UUPT, Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan terbatas, karena:
a.       Permohonan Kejaksaan, karena perseroan dinilai telah melanggar kepentingan umum;
b.       Permohonan pihak yang berkepentingan, karena adanya cacad hukum dalam akta pendirian;
c.       Permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris karena perseroan tidak mungkin dilanjutkan.
6.       Adanya pemberitahuan kepada para kreditur dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

IV.  Jangka Waktu Proses Likuidasi

i).       30 hari setelah tanggal pembubaran, likuidator/kurator, wajib memberitahukan:

a). kepada semua kreditor dalam pengumuman di surat kabar dan berita Negara RI; dan
b).  kepada Menteri untuk dicatat dalam draft perseroan yang dilikuidasi.

ii).      60 hari setelah pengumuman di Koran/surat kabar, merupakan jangka waktu bagi kreditor untuk mengajukan tagihan;

iii).     Paling lambat dalam 30 hari setelah tanggal pertanggungjawaban likuidasi, likuidator/kurator, wajib mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam surat kabar.

Catatan:

1.     Pengumuman di Koran paling sedikit memuat:
-          nama perseroan dan dasar hukumnya;
-          nama dan alamat likuidator;
-          tata cara pengajuan tagihan
-          jangka waktu pengajuan tagihan

2.    Pemberitahuan kepada menteri harus dilengkapi dengan:
-          dasar hukum pembubaran perseroan; dan
-          Pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar.

3. Likuidator bertanggungjawab kepada RUPS atau Pengadilan. Sedangkan Kurator bertanggungjawab kepada Hakim pengawas.

V.     Likuidasi oleh Kurator

Menurut Pasal 142 ayat (2) huruf a dan penjelasannya, yang dimaksud dengan “likuidasi yang dilakukan kurator” adalah likuidasi yang dilakukan dalam hal Perseroan bubar karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit dalam keadaan insolvensi.

Perseroan yang dinyatakan pailit, harta kekayaannya akan diurus oleh kurator. Saat perseroan dinyatakan pailit, seketika itu juga akan diangkat curator untuk mengurus/membereskan harta kekayaan perseroan berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pengangkatan curator dituangkan dalam amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga.

Dalam UUPT, pembubaran perseroan wajib diikuti dengan likuidasi oleh likuidator/kurator. Pembubaran perseroan dapat dilakukan dengan alasan bahwa perseroan telah dinyatakan pailit dan saat itu perseroan tengah diurus oleh kurator.

Jadi likuidasi perseroan oleh kurator hanya sebatas apabila perseroan tersebut telah dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya oleh pengadilan niaga. Dengan demikian pasal-pasal UUPT yang mengatur tentang likuidasi tidak bisa sepenuhnya berlaku bagi kurator.


Sumber:
  1. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
  2. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
  3.  http://www.hukumperseroanterbatas.com/2011/11/03/tahap-tahap-likuidasi-perseroan-terbatas/#sthash.vZLGdN1L.dpuf

Selasa, 09 Juli 2013

Penggunaan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (outsourcing)




Seperti telah diketahui bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Nomor: 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, suatu perusahaan dapat mengalihkan sebagian pekerjaannya kepada perusahaan lain sepanjang pekerjaan tersebut:

(i)                 terpisah dari pekerjaan utama;
(ii)               dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja;
(iii)             merupakan pekerjaan penunjang; dan
(iv)              tidak menghambat kegiatan produksi perusahaan

Oleh karena itu, Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Misalnya: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh, dan lain-lain.

Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :

  1. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh haruslah berbadan hukum;
  2. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
  3. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
  4. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
  5. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

Untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh perusahaan wajib memiliki ijin operasional dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh. Perusahaan penyedia jasa yang memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberian pekerjaan kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat :

  1. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa;
  2. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerrjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul manjadi tanggung jawab perusahaan -enyedia jasa pekerja/buruh;
  3. penegasan bahwa perusahaan penydia jasaja/burh bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerja yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

Perjanjian antara penyedia jasa pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan tersebut harus didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan dengan disertai lampiran draft perjanjian kerja dengan calon pekerja/buruh. Apabila perjanjian antara penyedia jasa pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan tidak didaftarkan, maka instansi di bidang ketenagakerjaan akan mencabut ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, dan dalam kondisi yang demikian, hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan.




Pengalihan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Penyedia Pekerja/Buruh




 Banyak diantara perusahaan yang bergerak di industri perdagangan (penghasil barang dan jasa) yang tidak mampu untuk mempekerjakan karyawan sebagai pegawai tetap untuk bidang pekerjaan tertentu. Disisi lain, ketidakmampuan perusahaan-perusahaan ini ternyata dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk membuka usaha dengan menyediakan pekerja guna memenuhi kebutuhan pekerja yang bersifat sementara (kontrak).

Perusahaan penyedia pekerja/buruh tersebut menjadi solusi bagi perusahaan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pekerjanya sebagai pegawai tetap. Namun yang menjadi persoalan, apakah semua jenis pekerjaan dapat dialihkan kepada pekerja yang sifatnya sementara? Dan bagaimana status hukum pekerja tersebut?. Hal ini penting untuk diketahui, namun jarang diperhatikan oleh Perusahaan penerima pekerja/buruh.

Perusahaan penyedia pekerja/buruh (Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan) adalah perusahaan lain yang menerima penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan. Sedangkan pekerja/buruh dalam hal ini adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Suatu perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya (harus berbadan hukum) melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis (Perjanjian Pemborongan). Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, baik mengenai manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan;
  2. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan alur kegiatan kerja perusahaan pemberi pekerjaan;
  3. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai denganalur kegiatan kerja perusahaan pemberi kerja; dan
  4. tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya kegiatan tersebut adalah kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Perlindungan hukum dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penyedia pekerja/buruh sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan hukum dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun demikian, hubungan hukum pekerja/buruh tetap dengan Perusahaan penyedia pekerja/buruh BUKAN dengan perusahaan penerima pekerja/buruh.

Apabila ketentuan tersebut diatas tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pengguna pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja.

Ketentuan mengenai perusahaan penyedia pekerja/buruh yang harus berbadan hukum dikecualikan oleh ketentuan Pasal 3 ayat (3) Kepmenaker No.  220/MEN/X/2004 tanggal 19 Oktober 2004, tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, diantaranya:
  1. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan barang;
  2. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultansi yang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang.

Penerapan PKWT Setelah Putusan MK (2)

Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Februari 2012 dan Surat Edaran No B.31/PHIJSK/I/2012 tanggal 20 Februari 2012 adalah tidak mencabut ketentuan outsourcing yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

Ketentuan pekerja/buruh outsourcing oleh Mahkamah Konstitusi  ditawarkan dalam dua model outsourcing  yaitu :

(i)     pekerjaan outsourcing yang berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dan

(ii)    pekerjaan outsourcing berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Februari 2012 dan Surat Edaran No B.31/PHIJSK/I/2012 tanggal 20 Februari 2012 pada dasarnya merupakan penegasan dari  Kepmennakertrans No. 101/MEN/VI/2004 yaitu ketentuan Pasal 4 huruf c yang  pada intinya berbunyi :

Dalam hal perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, kedua belah pihak  wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat :

c.       penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setelah adanya Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Februari 2012 dan Surat Edaran No B.31/PHIJSK/I/2012 tanggal 20 Februari 2012, maka  untuk melakukan pekerjaan outsourcing selain diwajibkan adanya perjanjian tertulis antara pekerja/buruh dengan perusahan penyedia jasa pekerja/buruh, juga diwajibkan adanya perjanjian tertulis antara perusahaan penyedia jasa dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Selanjutnya apabila  hubungan kerja antara Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dengan pekerja/buruh berbentuk PKWT, maka perjanjian tertulis antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan, wajib  mengatur mengenai adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada (sama), dalam arti  apabila perjanjian antara Perusahaan  penyedia  jasa pekerja/buruh dengan Perusahaan Pemberi Kerja  berakhir, maka  pekerja/buruh terlindungi haknya untuk tetap bekerja sebagai pekerja outsourcing.